Minggu, 29 November 2015

Puasa & Rabu Abu

PUASA UMAT KATOLIK

Pada umumnya menjelang bulan puasa Ramadan selalu timbul pertanyaan; apakah bagi orang Kristen juga ada kewajiban puasa seperti para penganut agama lainnya? Bagaimana puasanya orang Kristen dan berapa lama?

Bahkan di kalangan Umat Katolik pun sampai saat ini masih banyak yang mempertanyakan, “Bagaimana sih sebenarnya puasa Katolik itu?”.

Setiap tahun, umat Katolik di seluruh dunia menjalani masa Prapaskah, yaitu yang dimulai sejak empat puluh hari sebelum Paskah (jatuh antara 22 Maret-25 April setiap tahunnya tergantung kapan terjadinya bulan purnama dan vernal equinox). Masa Prapaskah mempunyai dua ciri khas, yaitu mempersiapkan pembaptisan dan membina semangat tobat. Bentuk pertobatan yang paling nyata adalah dengan berpuasa dan berpantang. Lalu, apakah makna puasa dan pantang menurut tradisi Katolik?


APA ITU RABU ABU?

Rabu Abu adalah permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa pertobatan, pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri untuk Kebangkitan Kristus dan Penebusan dosa kita.
Mengapa pada Hari Rabu Abu kita menerima abu di kening kita? Sejak lama, bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Bapa Pius Parsch, dalam bukunya "The Church's Year of Grace" menyatakan bahwa "Rabu Abu Pertama" terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Oleh karena itu, imam atau diakon membubuhkan abu pada dahi kita sambil berkata: "Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu" atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil".

Abu yang digunakan pada Hari Rabu Abu berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar. Setelah Pembacaan Injil dan Homili abu diberkati. Abu yang telah diberkati oleh gereja menjadi benda sakramentali.

Dalam upacara kuno, orang-orang Kristen yang melakukan dosa berat diwajibkan untuk menyatakan tobat mereka di hadapan umum. Pada Hari Rabu Abu, Uskup memberkati kain kabung yang harus mereka kenakan selama empat puluh hari serta menaburi mereka dengan abu. Kemudian sementara umat mendaraskan Tujuh Mazmur Tobat, orang-orang yang berdosa berat itu diusir dari gereja, sama seperti Adam yang diusir dari Taman Eden karena ketidaktaatannya. Mereka tidak diperkenankan masuk gereja sampai Hari Kamis Putih setelah mereka memperoleh rekonsiliasi dengan bertobat sungguh-sungguh selama empat puluh hari dan menerima Sakramen Pengakuan Dosa. Sesudah itu semua umat, baik umum maupun mereka yang baru saja memperoleh rekonsiliasi, bersama-sama mengikuti Misa untuk menerima abu.
Sekarang semua umat menerima abu pada Hari Rabu Abu. Yaitu sebagai tanda untuk mengingatkan kita untuk bertobat, tanda akan ketidakabadian dunia, dan tanda bahwa satu-satunya Keselamatan ialah dari Tuhan Allah kita.


Terminologi Puasa dalam Kitab Suci

Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL, atau PL saja) sering menggunakan kata tzam (צם) untuk menyebut istilah puasa (Neh 9:1; 2 Sam 12:21-23). Kata tzam dapat dibandingkan dengan kata shiyam (صيام) atau shaum (صوم) dalam bahasa Arab. Dalam bahasa aslinya, kata tzam menunjuk pada pengertian tidak makan sama sekali.

Kata atau ungkapan lain yang digunakan dalam KSPL adalah “tidak makan apa-apa” (1 Sam 28:20 dan 2 Sam 12:17) dan “merendahkan diri” (1 Raj 21:29). Ungkapan “merendahkan diri” ini menjadi istilah teknis untuk menyebut istilah puasa dalam tulisan-tulisan tradisi para Imam dan cenderung menjadi ungkapan baku pada periode selanjutnya.

Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB, atau PB saja) menggunakan kata ΝΗΣΤΕΙΑ (nésteia) yang berarti puasa (kt. benda) dan ΝΗΣΤΕΥΗ (nésteué) yang berarti berpuasa (kt. kerja). Nésteia adalah kata Yunani yang terdiri dari dua bagian: partikel negatif né (tidak) dan kata kerja esthio (makan). Kata benda dan kata kerja itu mempunyai arti umum: tidak makan, berpantang makanan, tanpa makanan, atau kelaparan.

KSPB mempunyai ungkapan yang lain, yaitu “menjauhkan diri dari makanan” (Kis 15:29; 1 Tim 4:3). Ungkapan ini lebih dipakai dalam pengertian tidak makan makanan tertentu atau berpantang.

Puasa Katolik

Agama Kekristenan Protestan tidak mewajibkan untuk berpuasa, sedangkan Kekristenan Katolik mewajibkan untuk berpuasa bahkan Gereja secara resmi menetapkan masa Prapaskah sebagai puasa resmi Umat Katolik, dimulai dari Rabu Abu dan berkahir pada hari Jumat Agung. Bila mungkin, puasa ini hendaknya diperpanjang sampai hari Sabtu Suci (lihat KL 110).

Bagi umat Katolik Roma, puasa berati pengurangan jumlah makanan yang disantap seseorang dengan hanya memakan satu porsi penuh makanan sekali sehari. Hal ini bisa disertai pula dengan penahanan diri untuk tidak menyantap daging. Gereja Katolik Roma percaya bahwa semua orang berkewajiban kepada Tuhan untuk melakukan semacam ibadat pertobatan, dan kegiatan-kegiatan pertobatan ini dilakukan baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Gereja Katolik Roma mengharuskan umat Katolik untuk melakukan kegiatan-kegiatan pertobatan yang nyata, termasuk di dalamnya puasa dan menahan diri beberapa kali dalam setahun, terutama dalam masa Prapaskah. Aturan Katolik Roma ini berasal dari Konstitusi Apostolik Paus Paulus VI, Paenitemini, tahun 1966. Umat gereja-gereja Katolik Timur (Katolik ritus Timur) berkewajiban untuk menaati kebiasaan gerejanya masing-masing mengenai hal ini.

Selain itu, bagi umat Katolik, puasa adalah ungkapan tobat, dan sekaligus merupakan ulah doa yang hangat. Dalam tradisi Gereja, puasa merupakan ibadat yang penting, yang dilaksanakan umat sebagai persiapan untuk perayaan-perayaan besar, khususnya Paskah yang dikenal dengan nama Masa Prapaskah.

Dalam tradisi Gereja, masa prapaskah merupakan masa di mana para katekumen (calon katolik) berpuasa sebelum dibaptis dan masa di mana seluruh umat beriman juga berpuasa untuk mendampingi para katekumen yang akan dibaptis.

Di samping puas resmi itu secara pribadi umat Katolik disarankan untuk berpuasa pada hari-hari yang dipilihnya sendiri sebagai ungkapan tobat dan laku tapa. Sebab puasa sangat bermanfaat untuk membangun semangat pengendalian diri (memudahkan bertobat dan merasa peka terhadap nilai-nilai rohani) dan menumbuhkan semangat kesetiakawanan dengan sesama yang berkekurangan, serta dan menyisihkan sesuatu untuk memberi (derma).

Bagaimana bentuk puasanya? Menurut paham Katolik puasa berarti makan kenyang satu kali sehari (dalam waktu 24 jam) dan dua kali sedikit. Minum air tidak termasuk soal puasa. Namun saat sekarang ini lebih ditekankan makan kenyang satu kali sehari.

Selain berpuasa, Gereja juga mempunyai kebiasaan berpantang. Pantang dilakukan setiap Jumat sepanjang tahun, kecuali jika hari Jumat itu bertepatan dengan hari raya gerejawi (lihat KHK 1251). Kecuali itu Gereja juga menetapkan pantang selama satu jam sebelum kita menyambut Sakramen Mahakudus.


Arti puasa bagi umat Katolik adalah sebagai berikut:

· Secara kejiwaan, berpuasa memurnikan hati orang dan mempermudah pemusatan perhatian waktu bersemadi dan berdoa.
· Puasa juga dapat merupakan korban atau persembahan.
· Puasa pantas disebut doa dengan tubuh, karena dengan berpuasa orang menata hidup dan tingkah laku rohaninya.
· Dengan berpuasa, orang mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendak-Nya. Ia mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dengan penuh syukur atas kelimpahan karunia Tuhan. Demikian, orang mengurangi keserakahan dan mewujudkan penyesalan atas dosa-dosanya di masa lampau.
· Dengan berpuasa, orang menemukan diri yang sebenarnya untuk membangun pribadi yang selaras. Puasa membebaskan diri dari ketergantungan jasmani dan ketidakseimbangan emosi. Puasa membantu orang untuk mengarahkan diri kepada sesama dan kepada Tuhan.

Itulah sebabnya, puasa Katolik selalu terlaksana bersamaan dengan doa dan derma, yang terwujud dalam Aksi Puasa Pembangunan. Semangat yang sama berlaku pula untuk laku pantang. Yang bukan semangat puasa dan pantang Katolik adalah:

· Berpuasa dan berpantang sekedar untuk kesehatan: diet, mengurangi makan dan minum atau makanan dan minuman tertentu untuk mencegah atau mengatasi penyakit tertentu.
· Berpuasa dan berpantang untuk memperoleh kesaktian baik itu tubuh maupun rohani.


Pada hari-hari puasa dan pantang, umat Katolik diharapkan dapat meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk berdoa, beribadat, melaksanakan olah tobat dan karya amal (lihat KHK 1249).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar