PUASA UMAT KATOLIK
Pada umumnya menjelang bulan
puasa Ramadan selalu timbul pertanyaan; apakah bagi orang Kristen juga ada
kewajiban puasa seperti para penganut agama lainnya? Bagaimana puasanya orang
Kristen dan berapa lama?
Bahkan di kalangan Umat Katolik pun sampai saat ini masih banyak
yang mempertanyakan, “Bagaimana sih sebenarnya puasa Katolik itu?”.
Setiap tahun, umat Katolik di seluruh dunia menjalani masa
Prapaskah, yaitu yang dimulai sejak empat puluh hari sebelum Paskah (jatuh
antara 22 Maret-25 April setiap tahunnya tergantung kapan terjadinya bulan
purnama dan vernal equinox). Masa Prapaskah mempunyai dua ciri khas, yaitu
mempersiapkan pembaptisan dan membina semangat tobat. Bentuk pertobatan yang paling
nyata adalah dengan berpuasa dan berpantang. Lalu, apakah makna puasa dan
pantang menurut tradisi Katolik?
APA ITU RABU ABU?
Rabu Abu adalah permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa pertobatan,
pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri untuk Kebangkitan
Kristus dan Penebusan dosa kita.
Mengapa pada Hari Rabu Abu kita menerima abu di kening kita? Sejak
lama, bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Bapa
Pius Parsch, dalam bukunya "The Church's Year of Grace" menyatakan
bahwa "Rabu Abu Pertama" terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa
berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari debu tanah
dan akan kembali menjadi debu. Oleh karena itu, imam atau diakon membubuhkan
abu pada dahi kita sambil berkata: "Ingatlah, kita ini abu dan akan
kembali menjadi abu" atau "Bertobatlah dan percayalah kepada
Injil".
Abu yang digunakan pada Hari Rabu Abu berasal dari daun-daun palma
yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar.
Setelah Pembacaan Injil dan Homili abu diberkati. Abu yang telah diberkati oleh
gereja menjadi benda sakramentali.
Dalam upacara kuno, orang-orang Kristen yang melakukan dosa berat
diwajibkan untuk menyatakan tobat mereka di hadapan umum. Pada Hari Rabu Abu,
Uskup memberkati kain kabung yang harus mereka kenakan selama empat puluh hari
serta menaburi mereka dengan abu. Kemudian sementara umat mendaraskan Tujuh
Mazmur Tobat, orang-orang yang berdosa berat itu diusir dari gereja, sama
seperti Adam yang diusir dari Taman Eden karena ketidaktaatannya. Mereka tidak
diperkenankan masuk gereja sampai Hari Kamis Putih setelah mereka memperoleh rekonsiliasi
dengan bertobat sungguh-sungguh selama empat puluh hari dan menerima Sakramen
Pengakuan Dosa. Sesudah itu semua umat, baik umum maupun mereka yang baru saja
memperoleh rekonsiliasi, bersama-sama mengikuti Misa untuk menerima abu.
Sekarang semua umat menerima abu pada Hari Rabu Abu. Yaitu sebagai
tanda untuk mengingatkan kita untuk bertobat, tanda akan ketidakabadian
dunia, dan tanda bahwa satu-satunya Keselamatan ialah dari Tuhan Allah kita.
Terminologi Puasa dalam Kitab Suci
Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL, atau PL saja) sering menggunakan
kata tzam (צם) untuk menyebut istilah puasa
(Neh 9:1; 2 Sam 12:21-23). Kata tzam dapat dibandingkan dengan kata shiyam (صيام)
atau shaum (صوم) dalam bahasa Arab. Dalam bahasa
aslinya, kata tzam menunjuk pada pengertian tidak makan sama sekali.
Kata atau ungkapan lain yang digunakan dalam KSPL adalah “tidak
makan apa-apa” (1 Sam 28:20 dan 2 Sam 12:17) dan “merendahkan diri” (1 Raj
21:29). Ungkapan “merendahkan diri” ini menjadi istilah teknis untuk menyebut
istilah puasa dalam tulisan-tulisan tradisi para Imam dan cenderung menjadi
ungkapan baku pada periode selanjutnya.
Kitab Suci Perjanjian Baru (KSPB, atau PB saja) menggunakan kata
ΝΗΣΤΕΙΑ (nésteia) yang berarti puasa (kt. benda) dan ΝΗΣΤΕΥΗ (nésteué) yang berarti
berpuasa (kt. kerja). Nésteia adalah kata Yunani yang terdiri dari dua bagian:
partikel negatif né (tidak) dan kata kerja esthio (makan). Kata benda dan kata
kerja itu mempunyai arti umum: tidak makan, berpantang makanan, tanpa makanan,
atau kelaparan.
KSPB mempunyai ungkapan yang lain, yaitu “menjauhkan diri dari
makanan” (Kis 15:29; 1 Tim 4:3). Ungkapan ini lebih dipakai dalam pengertian
tidak makan makanan tertentu atau berpantang.
Puasa Katolik
Agama Kekristenan Protestan tidak mewajibkan untuk berpuasa,
sedangkan Kekristenan Katolik mewajibkan untuk berpuasa bahkan Gereja secara
resmi menetapkan masa Prapaskah sebagai puasa resmi Umat Katolik, dimulai dari
Rabu Abu dan berkahir pada hari Jumat Agung. Bila mungkin, puasa ini hendaknya
diperpanjang sampai hari Sabtu Suci (lihat KL 110).
Bagi umat Katolik Roma, puasa berati pengurangan jumlah makanan
yang disantap seseorang dengan hanya memakan satu porsi penuh makanan sekali
sehari. Hal ini bisa disertai pula dengan penahanan diri untuk tidak menyantap
daging. Gereja Katolik Roma percaya bahwa semua orang berkewajiban kepada Tuhan
untuk melakukan semacam ibadat pertobatan, dan kegiatan-kegiatan pertobatan ini
dilakukan baik secara pribadi maupun secara bersama-sama. Gereja Katolik Roma
mengharuskan umat Katolik untuk melakukan kegiatan-kegiatan pertobatan yang
nyata, termasuk di dalamnya puasa dan menahan diri beberapa kali dalam setahun,
terutama dalam masa Prapaskah. Aturan Katolik Roma ini berasal dari Konstitusi
Apostolik Paus Paulus VI, Paenitemini, tahun 1966. Umat gereja-gereja Katolik
Timur (Katolik ritus Timur) berkewajiban untuk menaati kebiasaan gerejanya
masing-masing mengenai hal ini.
Selain itu, bagi umat Katolik, puasa adalah ungkapan tobat, dan
sekaligus merupakan ulah doa yang hangat. Dalam tradisi Gereja, puasa merupakan
ibadat yang penting, yang dilaksanakan umat sebagai persiapan untuk
perayaan-perayaan besar, khususnya Paskah yang dikenal dengan nama Masa
Prapaskah.
Dalam tradisi Gereja, masa prapaskah merupakan masa di mana para
katekumen (calon katolik) berpuasa sebelum dibaptis dan masa di mana seluruh
umat beriman juga berpuasa untuk mendampingi para katekumen yang akan dibaptis.
Di samping puas resmi itu secara pribadi umat Katolik disarankan
untuk berpuasa pada hari-hari yang dipilihnya sendiri sebagai ungkapan tobat
dan laku tapa. Sebab puasa sangat bermanfaat untuk membangun semangat
pengendalian diri (memudahkan bertobat dan merasa peka terhadap nilai-nilai
rohani) dan menumbuhkan semangat kesetiakawanan dengan sesama yang
berkekurangan, serta dan menyisihkan sesuatu untuk memberi (derma).
Bagaimana bentuk puasanya? Menurut paham Katolik puasa berarti
makan kenyang satu kali sehari (dalam waktu 24 jam) dan dua kali sedikit. Minum
air tidak termasuk soal puasa. Namun saat sekarang ini lebih ditekankan makan
kenyang satu kali sehari.
Selain berpuasa, Gereja juga mempunyai kebiasaan berpantang.
Pantang dilakukan setiap Jumat sepanjang tahun, kecuali jika hari Jumat itu
bertepatan dengan hari raya gerejawi (lihat KHK 1251). Kecuali itu Gereja juga
menetapkan pantang selama satu jam sebelum kita menyambut Sakramen Mahakudus.
Arti puasa bagi umat Katolik adalah sebagai berikut:
· Secara kejiwaan, berpuasa memurnikan hati orang dan mempermudah
pemusatan perhatian waktu bersemadi dan berdoa.
· Puasa juga dapat merupakan korban atau persembahan.
· Puasa pantas disebut doa dengan tubuh, karena dengan berpuasa
orang menata hidup dan tingkah laku rohaninya.
· Dengan berpuasa, orang mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan
kehendak-Nya. Ia mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dengan penuh
syukur atas kelimpahan karunia Tuhan. Demikian, orang mengurangi keserakahan
dan mewujudkan penyesalan atas dosa-dosanya di masa lampau.
· Dengan berpuasa, orang menemukan diri yang sebenarnya untuk
membangun pribadi yang selaras. Puasa membebaskan diri dari ketergantungan
jasmani dan ketidakseimbangan emosi. Puasa membantu orang untuk mengarahkan
diri kepada sesama dan kepada Tuhan.
Itulah sebabnya, puasa Katolik selalu terlaksana bersamaan dengan
doa dan derma, yang terwujud dalam Aksi Puasa Pembangunan. Semangat yang sama
berlaku pula untuk laku pantang. Yang bukan semangat puasa dan pantang Katolik
adalah:
· Berpuasa dan berpantang sekedar untuk kesehatan: diet,
mengurangi makan dan minum atau makanan dan minuman tertentu untuk mencegah
atau mengatasi penyakit tertentu.
· Berpuasa dan berpantang untuk memperoleh kesaktian baik itu
tubuh maupun rohani.
Pada hari-hari puasa dan pantang, umat Katolik diharapkan dapat
meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk berdoa, beribadat,
melaksanakan olah tobat dan karya amal (lihat KHK 1249).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar